Meriam,
adalah obyek yang menarik perhatian saya setiap kali berkunjung ke
lokasi-lokasi kraton yang masih menyimpannya. Meriam merupakan jenis
senjata pusaka bentuk baru yang mulai dikenal di Mataram, atau mungkin
sudah dikenal pada jaman Pajang, karena meriam-meriam perunggu kaliber
ringan (lela) sudah diproduksi oleh negeri-negeri pesisir utara jawa
(terutama surabaya dan demak) untuk memperkuat militernya. Bahkan Jepara
ketika menyerbu Malaka sebanyak tiga kali (1512/1513, 1550 dan 1573),
Jepara menjadi angkatan laut yang ditakuti di Nusantara pada masa itu
dimana kapal-kapalnya sudah diperlengkapi dengan meriam-meriam kaliber
ringan maupun kaliber berat. Ada ribuan meriam rampasan dari pasukan
jawa oleh portugis selama kurun waktu serbuan-serbuan itu.
|
Sang Kapiten dengan Meriam Panjang dan Besar |
Setelah
kemenangan Sultan Agung atas Surabaya di tahun 1625, Sultan Agung
mempermegah kebesarannya dengan peningkatan gelar, perluasan kraton di
Kerta dan pembuatan meriam ekstra besar untuk melebihi ukuran Meriam
Kyai Jimat (Kyai Amuk) yang dicor tahun 1527/1528 di Demak.
|
"Pancawura" |
Meriam
milik Mataram ini diberi nama Kyai Sapujagad atau Kyai Pancawura
(Singkatan dari Pandita Catur Wuruk ing Ratu, atau bermakna sengkalan
1547 Jawa atau 1625 Masehi). Meriam ini juga mempunyai julukan lain,
yaitu Kyai Guntur Geni (Geledek Api) dan Meriam ini ditembakkan tanpa
proyektil untuk keperluan mobilisasi massa, isyarat kemarahan Sunan dan
tanda adanya kematian besar-besaran. Pada tahun 1623, mobilisasi rakyat
masih menggunakan suara gong yang dipukul sambil berkeliling desa. Mulai
1625, mobilisasi rakyat dilakukan dengan menembakkan meriam ini, dan
dalam sehari mampu mengumpulkan 200.000 orang (De Graaf)
|
Meriam sak hohah |
Melihat
kondisi fisiknya, tampaknya meriam ini tidak dicor oleh orang yang
memang ahli mengecor meriam atau mungkin karena keterbatasan teknologi
cor yang ada di mataram pada masa itu. Menilik bentuk meriamnya, meriam
ini mengambil model meriam cina dan mirip dengan meriam kyai Jimat yang
ada di Banten.
Menurut
taksiran, berat meriam ini kira-kira 4-5 ton dan bukan perkara gampang
untuk mengumpulkan tembaga, timah putih dan chrom untuk memenuhi target
jumlah bahan baku meriam. Pada masa itu, logam adalah benda yang
termasuk langka, apalagi tidak ada bukti aktivitas penambangan tembaga
dan timah putih di Jawa, dengan kata lain, semua bahannya hasil import.
Kemungkinan lain adalah dengan melebur meriam-meriam perunggu rampasan
dari Kerajaan Surabaya, atau melalui pengumpulan massal benda-benda
tembaga/perunggu milik kawula Mataram, terutama dari pesisiran yang
mempunyai akses mudah ke laut. Di titik ini ada juga kemungkinan
peleburan arca-arca masa pra islam yang dibuat dari perunggu.
|
Lapisan-lapisan hasil pengecoran berlapis |
Jika
diamati, tampak bahwa cetakan (molding) tidak diletakkan vertikal
layaknya pengecoran meriam, tetapi diletakkan horisontal agak miring
keatas dengan posisi moncong meriam serong ke atas. Ini dapat diamati
dari “garis-garis” yang ada di badan meriam yang sekaligus menunjukkan
bahwa meriam dicor dengan berkali-kali penuangan. Dapat diduga pula,
bahwa pada masa itu, teknologi tanur pelebur yang cukup panas untuk
melebur 5 ton perunggu secara bersamaan, belum digunakan di jawa.
Strategi meletakkan cetakan pada posisi miring akan menghasilkan
cor-coran berlapis memanjang sehingga diharapkan meriam lebih kuat
konstruksinya bila dibandingkan dengan posisi cetakan tegak.
|
Pantat bertindik anting2 raksasa (untuk mengatur sudut tembak meriam) |
Apabila
melihat kondisi pantat meriam yang bentuknya mirip dengan batang kayu
dan bentuk dasar meriam adalah tabung (silinder), ada kemungkinan
cetakan dasar dibuat dari batang kayu besar, dan disempurnakan lagi
bentuknya setelah batang kayu diambil. Jadi, cetakan berbentuk sepasang
yang disatukan lagi setelah disempurnakan bentuknya.
Kemungkinan
lain, Cetakan (molding) dibuat utuh (tanpa membagi dua) dengan merangkai
tanah liat seperti teknik yang digunakan dalam pembuatan tentara Terra
Cotta Shi Huang Ti. Kemungkinan kedua tampaknya lebih masuk akal dan
lebih mudah dilaksanakan.
|
"takikan-takikan" untuk penguat cor tambalan diatasnya |
Setelah
proses cor selesai, meriam dikeluarkan dari molding dengan cara memecah
molding yang berisi meriam. Hasilnya yang penuh dengan lubang-lubang
gelembung udara yang terperangkap, menunjukkan bahwa suhu pengecoran
kurang panas, sehingga cairan logam terlalu kental. Karena terlalu
banyak lubang atau "krowak-krowak" batang meriam disempurnakan dengan
memberi cor-cor tambalan di batang meriam. Perunggu cair dituang,
setelah agak dingin (belum membeku), dibuat takikan-takikan untuk
memberi daya rekat kepada cor tambalan diatasnya.
|
Mendengarkan wangsit dari Meriam |
Meriam
ini sangat beresiko pecah jika ditembakkan dengan proyektil (peluru)
karena dindingnya ringkih dan tidak tahan terhadap kompresi hasil
ledakan mesiu. Tetapi bila ditembakkan tanpa proyektil dengan jumlah
mesiu tidak terlalu banyak, tentunya masih mampu. So, yang dimanfaatkan
adalah suaranya dan simbolisasinya saja, untuk menunjukkan kebesaran
sang Raja.
|
Apakah ini lambang kerajaan ? |
Kisah
perjalanan meriam ini cukup panjang, mulai dari Ibukota Mataram di
Kerta, pindah ke Kartasura dan akhirnya menetap di depan kraton
Surakarta sekarang. Para penyerbu yang menaklukkan Mataram mungkin tidak
membawa meriam ini sebagai rampasan, karena ukurannya yang kelewat
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar