Kamis, 30 Agustus 2012

Meriam Kyai Pancawura


Meriam, adalah obyek yang menarik perhatian saya setiap kali berkunjung ke lokasi-lokasi kraton yang masih menyimpannya. Meriam merupakan jenis senjata pusaka bentuk baru yang mulai dikenal di Mataram, atau mungkin sudah dikenal pada jaman Pajang, karena meriam-meriam perunggu kaliber ringan (lela) sudah diproduksi oleh negeri-negeri pesisir utara jawa (terutama surabaya dan demak) untuk memperkuat militernya. Bahkan Jepara ketika menyerbu Malaka sebanyak tiga kali (1512/1513, 1550 dan 1573), Jepara menjadi angkatan laut yang ditakuti di Nusantara pada masa itu dimana kapal-kapalnya sudah diperlengkapi dengan meriam-meriam kaliber ringan maupun kaliber berat. Ada ribuan meriam rampasan dari pasukan jawa oleh portugis selama kurun waktu serbuan-serbuan itu.

Sang Kapiten dengan Meriam Panjang dan Besar



Setelah kemenangan Sultan Agung atas Surabaya di tahun 1625, Sultan Agung mempermegah kebesarannya dengan peningkatan gelar, perluasan kraton di Kerta dan pembuatan meriam ekstra besar untuk melebihi ukuran Meriam Kyai Jimat (Kyai Amuk) yang dicor tahun 1527/1528 di Demak.

"Pancawura"


Meriam milik Mataram ini diberi nama Kyai Sapujagad atau Kyai Pancawura (Singkatan dari Pandita Catur Wuruk ing Ratu, atau bermakna sengkalan 1547 Jawa atau 1625 Masehi). Meriam ini juga mempunyai julukan lain, yaitu Kyai Guntur Geni (Geledek Api) dan Meriam ini ditembakkan tanpa proyektil untuk keperluan mobilisasi massa, isyarat kemarahan Sunan dan tanda adanya kematian besar-besaran. Pada tahun 1623, mobilisasi rakyat masih menggunakan suara gong yang dipukul sambil berkeliling desa. Mulai 1625, mobilisasi rakyat dilakukan dengan menembakkan meriam ini, dan dalam sehari mampu mengumpulkan 200.000 orang (De Graaf)

Meriam sak hohah


Melihat kondisi fisiknya, tampaknya meriam ini tidak dicor oleh orang yang memang ahli mengecor meriam atau mungkin karena keterbatasan teknologi cor yang ada di mataram pada masa itu. Menilik bentuk meriamnya, meriam ini mengambil model meriam cina dan mirip dengan meriam kyai Jimat yang ada di Banten.



Menurut taksiran, berat meriam ini kira-kira 4-5 ton dan bukan perkara gampang untuk mengumpulkan tembaga, timah putih dan chrom untuk memenuhi target jumlah bahan baku meriam. Pada masa itu, logam adalah benda yang termasuk langka, apalagi tidak ada bukti aktivitas penambangan tembaga dan timah putih di Jawa, dengan kata lain, semua bahannya hasil import. Kemungkinan lain adalah dengan melebur meriam-meriam perunggu rampasan dari Kerajaan Surabaya, atau melalui pengumpulan massal benda-benda tembaga/perunggu milik kawula Mataram, terutama dari pesisiran yang mempunyai akses mudah ke laut. Di titik ini ada juga kemungkinan peleburan arca-arca masa pra islam yang dibuat dari perunggu.

Lapisan-lapisan hasil pengecoran berlapis


Jika diamati, tampak bahwa cetakan (molding) tidak diletakkan vertikal layaknya pengecoran meriam, tetapi diletakkan horisontal agak miring keatas dengan posisi moncong meriam serong ke atas. Ini dapat diamati dari “garis-garis” yang ada di badan meriam yang sekaligus menunjukkan bahwa meriam dicor dengan berkali-kali penuangan. Dapat diduga pula, bahwa pada masa itu, teknologi tanur pelebur yang cukup panas untuk melebur 5 ton perunggu secara bersamaan, belum digunakan di jawa. Strategi meletakkan cetakan pada posisi miring akan menghasilkan cor-coran berlapis memanjang sehingga diharapkan meriam lebih kuat konstruksinya bila dibandingkan dengan posisi cetakan tegak.

Pantat bertindik anting2 raksasa (untuk mengatur sudut tembak meriam)


Apabila melihat kondisi pantat meriam yang bentuknya mirip dengan batang kayu dan bentuk dasar meriam adalah tabung (silinder), ada kemungkinan cetakan dasar dibuat dari batang kayu besar, dan disempurnakan lagi bentuknya setelah batang kayu diambil. Jadi, cetakan berbentuk sepasang yang disatukan lagi setelah disempurnakan bentuknya.
Kemungkinan lain, Cetakan (molding) dibuat utuh (tanpa membagi dua) dengan merangkai tanah liat seperti teknik yang digunakan dalam pembuatan tentara Terra Cotta Shi Huang Ti. Kemungkinan kedua tampaknya lebih masuk akal dan lebih mudah dilaksanakan.



"takikan-takikan" untuk penguat cor tambalan diatasnya



Setelah proses cor selesai, meriam dikeluarkan dari molding dengan cara memecah molding yang berisi meriam. Hasilnya yang penuh dengan lubang-lubang gelembung udara yang terperangkap, menunjukkan bahwa suhu pengecoran kurang panas, sehingga cairan logam terlalu kental. Karena terlalu banyak lubang atau "krowak-krowak" batang meriam disempurnakan dengan memberi cor-cor tambalan di batang meriam. Perunggu cair dituang, setelah agak dingin (belum membeku), dibuat takikan-takikan untuk memberi daya rekat kepada cor tambalan diatasnya.

Mendengarkan wangsit dari Meriam


Meriam ini sangat beresiko pecah jika ditembakkan dengan proyektil (peluru) karena dindingnya ringkih dan tidak tahan terhadap kompresi hasil ledakan mesiu. Tetapi bila ditembakkan tanpa proyektil dengan jumlah mesiu tidak terlalu banyak, tentunya masih mampu. So, yang dimanfaatkan adalah suaranya dan simbolisasinya saja, untuk menunjukkan kebesaran sang Raja.

Apakah ini lambang kerajaan ?

Kisah perjalanan meriam ini cukup panjang, mulai dari Ibukota Mataram di Kerta, pindah ke Kartasura dan akhirnya menetap di depan kraton Surakarta sekarang. Para penyerbu yang menaklukkan Mataram mungkin tidak membawa meriam ini sebagai rampasan, karena ukurannya yang kelewat besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar