Sabtu, 15 September 2012
Musim
kemarau yang kering, sempat terbersit rencana untuk ekspedisi ke Situs
Megalithik Candi Angin di Puncak Muria. Setelah mempertimbangkan badan
yang kurang fit dan memang lagi malas, Rencana tiba-iba berubah untuk
melanjutkan perburuan situs-situs Ratu kalinyamat. Kali ini, tujuannya
mencari situs lokasi kedaton Ratu Kalinyamat yang ada di kecamatan
kalinyamatan. Dari browsing, didapatkan informasi yang cukup
menggembirakan dari tulisan Ibu Chusnul Hayati dari Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang.
Tulisan itu
berisikan laporan P.J. Veth (1912) yang mencatat bahwa Kalinyamat
pernah menjadi tempat kedudukan Ratu Jepara, suatu tempat yang
ditemukan jejak-jejak atau bekas kebesaran masa lalu. Meski pun penduduk
setempat dan para pegawai sama sekali tidak tahu tempat yang tepat
dari bekas istana, tetapi setiap orang berbicara mengenai Ratu
Kalinyamat. Di berbagai desa seperti Purwogondo, Robayan, Kriyan, dan
tempat-tempat lain terdapat legenda mengenai Ratu Kalinyamat. Ada dugaan
Krian mungkin merupakan tempat para "rakriya" (para bangsawan).
Beberapa tempat di daerah ini masih bernama Pecinan, padahal tidak ada
lagi orang Cina yang bertempat tinggal di situ. Kemudian diketahui bahwa
desa Robayan dan beberapa desa lainnya masih memakai nama Kauman.
Di
tempat-tempat tertentu orang masih menyebutnya dengan nama Sitinggil
(Siti-inggil), yang terletak di tengah-tengah tanah tegalan. Di situ
ditemukan dinding tembok dari kraton lama yang diperkirakan panjang
kelilingnya antara 5-6 km persegi. Di sana sini terdapat benteng yang
menonjol ke luar. Batas-batas dari kraton kira-kira meliputi sepanjang
jalan besar Kudus, Jepara, Kali Bakalan, yang pada tahun 1900-an
merupakan garis batas antara onderdistrik Pacangaan, Welahan, dan Kali
Kecek. Di kebanyakan tempat, tembok-tembok kraton itu masih dalam
kondisi yang bagus. Di suatu tempat yang disebut Sitinggil, memang
ditemukan bangunan batu bata yang ditinggikan, sementara di tempat lain
menunjukkan adanya tempat mandi. Dengan melalui penggalian percobaan
di beberapa tempat dapat ditemukan adanya dinding-dinding benteng yang
sangat berat yang memanjang sampai beberapa ratus meter. Di tempat itu
juga ditemukan fondasi-fondasi yang terbuat dari batu bata yang lebih
kecil ukurannya dari pada emplasemen Majapahit. Batu-batu bata ini telah
diambili dan dimanfaatkan oleh penduduk.
Di samping itu
P.J. Veth memperoleh temuan penting dari berita Portugis mengenai
"Cerinhama" atau "Cherinhama" yang disebut sebagai ibukota sebuah
kerajaan laut atau kota pelabuhan Jepara yang terletak 3 mil atau
kira-kira 12,5 pal ke pedalaman. Di tempat itu lah letak reruntuhan
kraton Kalinyamat yang menjadi tempat kedudukan atau peristirahatan Ratu
Jepara. (Veth III, 1882 : 762).
Diperkirakan bahwa selama
menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di Kalinyamat,
akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara.
Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di kota
pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof). Hal ini
berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari memang
tinggal di kota pelabuhan, sementara itu daerah Kalinyamat hanya
dijadikan sebagai tempat peristirahatan.
So, berita-berita
dari 100 tahun lalu itu sungguh menggembirakan. Sesampainya di lokasi
yang ditujuk, informasi dari masyarakat juga membuat makin semangat
untuk mencari situs itu. Nah, ini foto udara mengenai lokasi yang diduga
merupakan salah satu keraton Ratu Kalinyamat :
|
Lokasi Kriyan, tempat sitihinggil kalinyamat berada (wikimapia.org) |
|
Lokasi Sitihinggil yang terletak di tegalan kosong (wikimapia.org) |
Lokasi
yang ditunjukkan oleh warga, ternyata jauh dari apa yang kubayangkan.
Lokasi yang dulu pernah digali seratus tahunn lalu, sekarang tinggal
gundukan tanah yang menggunung dan di sekitar lokasi menjadi tempat
membuang sampah dan tempat membakar sampah warga. Industri pembuatan
bubuk bata juga makin mempercepat hilangnya situs yang dulu pernah
digali. Tapi, mungkin situs ini dulu memang sengaja ditimbun kembali
sampai berupa gundukan tanah dengan maksud untuk mengamankan situs itu
sendiri, terutama untuk menyelamatkan situs sitihinggil.
|
Gundukan tanah yang disebut warga sebagai Sitihinggil |
|
Contoh batu bata kuno (?) yang masih ditemukan di permukaan gundukan |
di
gundukan itu masih ditemukan beberapa pecahan yang dicurigai sebagai
bata kuno. Gundukan ini menurut pengamatan sekilas dari permukaan,
tampaknya memang mengandung batu bata terpendam dalam jumlah banyak.
Warga sekitar tidak berani membongkar gundukan itu, kebanyakan karena
alasan yang umum : takut kuwalat. Alasan ini juga ada positifnya,
sehingga sepetak tanah kosong itu tidak dihuni sampai sekarang. Jika
ingin mengunjungi tempat ini, silakan menuju ke kecamatan kalinyamatan
(juga terdapat situs makam ari-ari RA Kartini), dan bisa meminta
informasi desa kriyan (pusat kerajinan monel), sampai di desa kriyan,
hampir setiap orang tahu lokasi siti inggil ini. Lokasi ini tepat berada
di belakang SMP Islam Sultan Agung 2.
|
Plang penunjuk desa kriyan, pusat kerajinan monel |
Setelah
puas menengok situs yang diduga sebagai lokasi siti hinggil Kedaton
Kalinyamat, perjalanan dilanjutkan ke 2 km selatan situs sitihinggil,
yaitu "Kutho Bedhah". Lokasinya sekitar 3-4 km ke arah barat daya
sitihinggil. Menurut informasi dari wikipedia, kata "kutho bedhah" ini
berasal dari kenangan masa clash II ketika masjid robayan dijatuhi bom
pesawat belanda, tetapi bom itu meleset dan jatuh di desa robayan dan
lokasi itu kemudian disebut sebagai "kutho bedhah". Terus terang saya
tidak percaya informasi itu. Terlalu berlebihan bila desa kecil pada
tahun 40-an, setelah di bom belanda, kemudian menjadi "kutho bedhah",
kok tidak dinamakan "desa bedhah" ??
Sampai di lokasi, secara
tidak sengaja saya bertemu dengan bapak yanto (mantan tentara, tidak mau
difoto). Ketika saya bertanya perihal "kutho bedhah", rupanya beliau
juga membenarkan kisah itu dengan semangat dan yakin kalau nama itu
berkaitan dengan masa clash II. Entahlah, informasi itu diceritakan dg
sangat bertubi dan makin memperbesar keraguanku akan kisah itu. Menurut
penduduk muda yang lain, malah tidak tahu asal usul nama "kutho bedhah".
Akhirnya ... ketemu dengan bapak Suradi yang berusia sangat sepuh,
informasinya berlainan : "kutho bedhah" sudah dikenal sejak jaman
"normal" artinya sebelum terjadi clash II dan sebelum jaman jepang,
artinya, nama itu mungkin mengingatkan suatu peristiwa besar di masa
lalu jauh sebelum tahun 1940-an. Mbah suradi sendiri mengatakan, sejak
eyangnya mbah suradi masih hidup, "kutho bedhah" sudah dikenal turun
temurun, tanpa bisa menceritakan kenapa diberi nama "kutho bedhah".
Menurut
De Graaf (kerajaan islam pertama di jawa, halaman 122) : sepeninggal
Sultan pajang pada 1588, terbukalah kesempatan senapati untuk memperluas
kekuasaannya. Ada kemungkinan, serangan laskar Mataram yang sudah
diperkirakan itu datang pada tahun 1599 (dalam buku "Awal Kebangkitan
Mataram" disebutkan bahwa perlu 3 kali serangan besar untuk menundukkan
jepara karena diperkuat dengan tembok-tembok benteng) dan berakhirlah
pemerintahan Pangeran Jepara. Dalam suatu surat berbahasa belanda tahun
1615 (Colenbrander, Coen, jilid VII, hlm. 45) terdapat kata-kata destructie
(penghancuran) kota jepara. Serangan Mataram dari pedalaman ke
kota-kota pelabuhan pesisir yang makmur mengakibatkan kerusakan berat.
Pada
masa itu, penghancuran suatu kota, biasanya diikuti dengan penghancuran
sarana pertahanan militer seperti yang dialami oleh Tuban, Pati,
Surabaya. Orang-orang yang melawan dibunuh, yang menyerah dijadikan
tenaga kerja budak di pedalaman ... saya rasa, peristiwa besar "Kutho
Bedhah" mungkin sekali berkaitan dengan peristiwa serangan besar 1599
yang mengakibatkan kejatuhan Jepara. Tapi ada satu bangunan megah kota
jepara yang tidak turut dihancurkan, yaitu sebuah masjid (?) yang
berbentuk pagoda yang masih sempat diabadikan dalam lukisan tahun 1660 :
|
Moskee te Djapara in 1660, Midden-Java (www.kitlv.nl) |
|
tanggul yang mungkin dulunya benteng yang diperkuat dengan tembok bata |
|
tanggul "alami" yang sudah diperkuat lagi oleh warga dengan tanggul baru (panjang tanggul kuno ini 1 km dan nyaris lurus) |
|
bata kuno dan korek jres ... sahabat setia anda ! |
melihat
kontur "alami" ini saya membayangkan, tentunya ini adalah kota yang
dipertahankan dengan baik, tingginya tanggul sudah menggambarkan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi ketika menyerbu kota bagian selatan
ini. Di masa sekarang, untuk masuk ke "kutho bedhah" perlu menggunakan
persneleng 2 plus gas yang kencang untuk mendaki (honda grand 1992).
Setelah selesai mendaki, kutho bedhah ini sangat landai konturnya.
Banyak
warga yang memanfaatkan bata-bata kuno di kutho bedhah untuk bangunan
dan paling banyak digunakan sebagai bahan baku selep bata, mengubah bata
kuno menjadi serbuk bata untuk bahan bangunan. Aktivitas itu sudah
marak sejak tahun 1990-an dan mulai agak mereda sekitar tahun 2000-an
karena sudah sulit mencari bahan baku bata. Dan memang terbukti, hanya
SATU batu bata kuno yang berhasil diabadikan .... ya ndak apa2lah,
lumayan sebagai obat capek dan mandi keringat seharian.
Ok,
sampai disini dulu petualangan ber-solo karir BOL BRUTU di tanah
kalinyamat, kisah tentang masjid robayan akan dibuat di tulisan terpisah
..... Anda Galau ? sumpeg ? .... ingat ! BLUSUKAN adalah KUNCI !
(Terinspirasi monolog DN Aidit dalam film "Pengkhianatan G-30-S PKI
karya Arifin C Noor)