PENSIL 2B (TO BE)
Dua Belas tahun meringkuk menghadap meja-meja beku.
Tekun dan rajin belajar ilmu yang tak kutahu gunanya.
hari-hari siang berisi menghitung dan menghapal.
semuanya dinilai dengan angka-angka yang tak kutahu darimana juntrungnya.
semakin hapal dan cepat menghitung, kau semakin hebat.
ah, tololnya ! bangga menjadi mesin hitung dan mesin menghapal ?.
hitung, hapal, hitung, hapal, hitung, hapal .... supaya pintar ?.
Perjalanan absurd dalam detak mekanik itu ditentukan dalam dua hari.
pertarungan dua hari dengan membuat bundaran-bundaran hitam pensil 2B.
harus hitam legam ! kalau tidak kau tidak masuk kasta lolos 2B !.
tidak boleh kurang tidak boleh lebih, hitam legam bundar sempurna !.
otakku menjadi kalkulator dan pencatat ingatan tak perlu.
nasibku ditangan pensil 2B, pensil menjadi.
dua hari dalam dua B, dua hari untuk menjadi.
kebenaran mutlak versi pembuat soal tidak dapat ditawar.
engkau berbeda, maka engkau salah, skormu berkurang satu.
engkau sama, maka engkau benar, skormu bertambah empat.
engkau tidak tahu, maka hitunglah kancing bajumu.
sejak kapan kebenaran jadi deretan angka angkuh yang seolah menentukan hidupmu ?
padahal jawabmu hanya berupa lingkaran hitam legam ?.
sama legamnya dengan masa depan yang tak tentu itu.
masa depan yang kau tulis dengan pensil 2B, pensil menjadi.
hari kedua ini dari dua hari pensil dua B, adalah pertunjukan komedi,
karena begitu tololnya aku menghamba kepada bundar hitam.
bundar-bundar hitam yang akan masuk pengadilan mesin scanner.
mesin scanner yang menentukan aku akan menjadi apa.
Tolol !
(Rabu, 22 Juni 1994, Gedung Sastra UGM, dalam sebuah pertunjukan komedi UMPTN)
Parung Sari Project
Selasa, 22 April 2014
SELAMAT PAGI KEKASIH
pagi bertambah satu,
embun pagi masih malas menetes satu-satu,
si kenari masih termangu sebelum berkicau,
apa kabar belahan hati ? pagi menunggumu,
tujuh belas warsa telah berlaku,
masih ingatkah wahai kekasih hatiku ?
ketika engkau melantunkan bait kelahiranmu ?
yang menyeruak pagi dengan segenap kegembiraanmu ?
bayi mungil itu menapaki hari sambil tersipu,
merentangkan tangan untuk segenap hati yang memujamu,
melangkahkan kaki menapaki waktu,
merenda mimpi dengan renjana di setiap lipatan kalbumu,
pagi menyapamu seperti tujuh belas warsa yang lalu,
mengajakmu bangkit menyambut waktumu,
mekar tebarkan wangi rona cintamu,
menjadi bianglala yang memberi warna cakrawala itu,
Selamat ulang tahun kekasihku,
rentangkan sayapmu dengan segala keanggunanmu,
teriring serangkai doa untuk segala harapmu,
semoga mentari itu semakin bersinar dalam meniti waktu,
(Jogja, 15 Desember 1975 - 15 Desember 1992)
~marwan ardiansyah~
pagi bertambah satu,
embun pagi masih malas menetes satu-satu,
si kenari masih termangu sebelum berkicau,
apa kabar belahan hati ? pagi menunggumu,
tujuh belas warsa telah berlaku,
masih ingatkah wahai kekasih hatiku ?
ketika engkau melantunkan bait kelahiranmu ?
yang menyeruak pagi dengan segenap kegembiraanmu ?
bayi mungil itu menapaki hari sambil tersipu,
merentangkan tangan untuk segenap hati yang memujamu,
melangkahkan kaki menapaki waktu,
merenda mimpi dengan renjana di setiap lipatan kalbumu,
pagi menyapamu seperti tujuh belas warsa yang lalu,
mengajakmu bangkit menyambut waktumu,
mekar tebarkan wangi rona cintamu,
menjadi bianglala yang memberi warna cakrawala itu,
Selamat ulang tahun kekasihku,
rentangkan sayapmu dengan segala keanggunanmu,
teriring serangkai doa untuk segala harapmu,
semoga mentari itu semakin bersinar dalam meniti waktu,
(Jogja, 15 Desember 1975 - 15 Desember 1992)
~marwan ardiansyah~
aku mencintaimu,
seperti permen yang melarut dalam mulut hangatmu
aku mencintaimu,
seperti rintik hujan yang mereda untuk merenda pelangimu
aku mencintaimu,
seperti mentari pagi yang menyapa hangat titik embun
aku mencintaimu,
seperti setanggi yang menjadi abu untuk persembahan semerbak wangi
cinta, lihatlah, engkau membuatku mencinta, menjadikan derita menjadi bermakna, menjadikan batu-batu gersang rela menjadi debu untuk tumbuhnya kuncup-kuncup bunga .....
~marwan ardiansyah~
(dalam sebuah kamar nan senyap, 15 Januari 1993)
seperti permen yang melarut dalam mulut hangatmu
aku mencintaimu,
seperti rintik hujan yang mereda untuk merenda pelangimu
aku mencintaimu,
seperti mentari pagi yang menyapa hangat titik embun
aku mencintaimu,
seperti setanggi yang menjadi abu untuk persembahan semerbak wangi
cinta, lihatlah, engkau membuatku mencinta, menjadikan derita menjadi bermakna, menjadikan batu-batu gersang rela menjadi debu untuk tumbuhnya kuncup-kuncup bunga .....
~marwan ardiansyah~
(dalam sebuah kamar nan senyap, 15 Januari 1993)
apa itu cinta ?
setiap menanyakan apa, kemudian bagaimana tertangguhkan
apa itu cinta ?
aku tidak tahu
bagaimanakah cinta ?
ketika kerlingan mata indah itu membuatku lupa caranya berpikir
bagaimanakah cinta ?
ketika diri menjadi daun yang pasrah oleh hempasan dan aliran lembut sungai bening itu
~marwan ardiansyah~ medio 1992
setiap menanyakan apa, kemudian bagaimana tertangguhkan
apa itu cinta ?
aku tidak tahu
bagaimanakah cinta ?
ketika kerlingan mata indah itu membuatku lupa caranya berpikir
bagaimanakah cinta ?
ketika diri menjadi daun yang pasrah oleh hempasan dan aliran lembut sungai bening itu
~marwan ardiansyah~ medio 1992
Minggu, 16 September 2012
Situs Kedaton Ratu Kalinyamat (Blayangan ke Kalinyamatan)
Sabtu, 15 September 2012
Musim
kemarau yang kering, sempat terbersit rencana untuk ekspedisi ke Situs
Megalithik Candi Angin di Puncak Muria. Setelah mempertimbangkan badan
yang kurang fit dan memang lagi malas, Rencana tiba-iba berubah untuk
melanjutkan perburuan situs-situs Ratu kalinyamat. Kali ini, tujuannya
mencari situs lokasi kedaton Ratu Kalinyamat yang ada di kecamatan
kalinyamatan. Dari browsing, didapatkan informasi yang cukup
menggembirakan dari tulisan Ibu Chusnul Hayati dari Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang.
Tulisan itu
berisikan laporan P.J. Veth (1912) yang mencatat bahwa Kalinyamat
pernah menjadi tempat kedudukan Ratu Jepara, suatu tempat yang
ditemukan jejak-jejak atau bekas kebesaran masa lalu. Meski pun penduduk
setempat dan para pegawai sama sekali tidak tahu tempat yang tepat
dari bekas istana, tetapi setiap orang berbicara mengenai Ratu
Kalinyamat. Di berbagai desa seperti Purwogondo, Robayan, Kriyan, dan
tempat-tempat lain terdapat legenda mengenai Ratu Kalinyamat. Ada dugaan
Krian mungkin merupakan tempat para "rakriya" (para bangsawan).
Beberapa tempat di daerah ini masih bernama Pecinan, padahal tidak ada
lagi orang Cina yang bertempat tinggal di situ. Kemudian diketahui bahwa
desa Robayan dan beberapa desa lainnya masih memakai nama Kauman.
Di
tempat-tempat tertentu orang masih menyebutnya dengan nama Sitinggil
(Siti-inggil), yang terletak di tengah-tengah tanah tegalan. Di situ
ditemukan dinding tembok dari kraton lama yang diperkirakan panjang
kelilingnya antara 5-6 km persegi. Di sana sini terdapat benteng yang
menonjol ke luar. Batas-batas dari kraton kira-kira meliputi sepanjang
jalan besar Kudus, Jepara, Kali Bakalan, yang pada tahun 1900-an
merupakan garis batas antara onderdistrik Pacangaan, Welahan, dan Kali
Kecek. Di kebanyakan tempat, tembok-tembok kraton itu masih dalam
kondisi yang bagus. Di suatu tempat yang disebut Sitinggil, memang
ditemukan bangunan batu bata yang ditinggikan, sementara di tempat lain
menunjukkan adanya tempat mandi. Dengan melalui penggalian percobaan
di beberapa tempat dapat ditemukan adanya dinding-dinding benteng yang
sangat berat yang memanjang sampai beberapa ratus meter. Di tempat itu
juga ditemukan fondasi-fondasi yang terbuat dari batu bata yang lebih
kecil ukurannya dari pada emplasemen Majapahit. Batu-batu bata ini telah
diambili dan dimanfaatkan oleh penduduk.
Di samping itu
P.J. Veth memperoleh temuan penting dari berita Portugis mengenai
"Cerinhama" atau "Cherinhama" yang disebut sebagai ibukota sebuah
kerajaan laut atau kota pelabuhan Jepara yang terletak 3 mil atau
kira-kira 12,5 pal ke pedalaman. Di tempat itu lah letak reruntuhan
kraton Kalinyamat yang menjadi tempat kedudukan atau peristirahatan Ratu
Jepara. (Veth III, 1882 : 762).
Diperkirakan bahwa selama
menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di Kalinyamat,
akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara.
Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di kota
pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof). Hal ini
berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari memang
tinggal di kota pelabuhan, sementara itu daerah Kalinyamat hanya
dijadikan sebagai tempat peristirahatan.
So, berita-berita
dari 100 tahun lalu itu sungguh menggembirakan. Sesampainya di lokasi
yang ditujuk, informasi dari masyarakat juga membuat makin semangat
untuk mencari situs itu. Nah, ini foto udara mengenai lokasi yang diduga
merupakan salah satu keraton Ratu Kalinyamat :
Lokasi Kriyan, tempat sitihinggil kalinyamat berada (wikimapia.org) |
Lokasi Sitihinggil yang terletak di tegalan kosong (wikimapia.org) |
Lokasi
yang ditunjukkan oleh warga, ternyata jauh dari apa yang kubayangkan.
Lokasi yang dulu pernah digali seratus tahunn lalu, sekarang tinggal
gundukan tanah yang menggunung dan di sekitar lokasi menjadi tempat
membuang sampah dan tempat membakar sampah warga. Industri pembuatan
bubuk bata juga makin mempercepat hilangnya situs yang dulu pernah
digali. Tapi, mungkin situs ini dulu memang sengaja ditimbun kembali
sampai berupa gundukan tanah dengan maksud untuk mengamankan situs itu
sendiri, terutama untuk menyelamatkan situs sitihinggil.
Gundukan tanah yang disebut warga sebagai Sitihinggil |
Contoh batu bata kuno (?) yang masih ditemukan di permukaan gundukan |
di
gundukan itu masih ditemukan beberapa pecahan yang dicurigai sebagai
bata kuno. Gundukan ini menurut pengamatan sekilas dari permukaan,
tampaknya memang mengandung batu bata terpendam dalam jumlah banyak.
Warga sekitar tidak berani membongkar gundukan itu, kebanyakan karena
alasan yang umum : takut kuwalat. Alasan ini juga ada positifnya,
sehingga sepetak tanah kosong itu tidak dihuni sampai sekarang. Jika
ingin mengunjungi tempat ini, silakan menuju ke kecamatan kalinyamatan
(juga terdapat situs makam ari-ari RA Kartini), dan bisa meminta
informasi desa kriyan (pusat kerajinan monel), sampai di desa kriyan,
hampir setiap orang tahu lokasi siti inggil ini. Lokasi ini tepat berada
di belakang SMP Islam Sultan Agung 2.
Plang penunjuk desa kriyan, pusat kerajinan monel |
Setelah
puas menengok situs yang diduga sebagai lokasi siti hinggil Kedaton
Kalinyamat, perjalanan dilanjutkan ke 2 km selatan situs sitihinggil,
yaitu "Kutho Bedhah". Lokasinya sekitar 3-4 km ke arah barat daya
sitihinggil. Menurut informasi dari wikipedia, kata "kutho bedhah" ini
berasal dari kenangan masa clash II ketika masjid robayan dijatuhi bom
pesawat belanda, tetapi bom itu meleset dan jatuh di desa robayan dan
lokasi itu kemudian disebut sebagai "kutho bedhah". Terus terang saya
tidak percaya informasi itu. Terlalu berlebihan bila desa kecil pada
tahun 40-an, setelah di bom belanda, kemudian menjadi "kutho bedhah",
kok tidak dinamakan "desa bedhah" ??
Sampai di lokasi, secara
tidak sengaja saya bertemu dengan bapak yanto (mantan tentara, tidak mau
difoto). Ketika saya bertanya perihal "kutho bedhah", rupanya beliau
juga membenarkan kisah itu dengan semangat dan yakin kalau nama itu
berkaitan dengan masa clash II. Entahlah, informasi itu diceritakan dg
sangat bertubi dan makin memperbesar keraguanku akan kisah itu. Menurut
penduduk muda yang lain, malah tidak tahu asal usul nama "kutho bedhah".
Akhirnya ... ketemu dengan bapak Suradi yang berusia sangat sepuh,
informasinya berlainan : "kutho bedhah" sudah dikenal sejak jaman
"normal" artinya sebelum terjadi clash II dan sebelum jaman jepang,
artinya, nama itu mungkin mengingatkan suatu peristiwa besar di masa
lalu jauh sebelum tahun 1940-an. Mbah suradi sendiri mengatakan, sejak
eyangnya mbah suradi masih hidup, "kutho bedhah" sudah dikenal turun
temurun, tanpa bisa menceritakan kenapa diberi nama "kutho bedhah".
Menurut
De Graaf (kerajaan islam pertama di jawa, halaman 122) : sepeninggal
Sultan pajang pada 1588, terbukalah kesempatan senapati untuk memperluas
kekuasaannya. Ada kemungkinan, serangan laskar Mataram yang sudah
diperkirakan itu datang pada tahun 1599 (dalam buku "Awal Kebangkitan
Mataram" disebutkan bahwa perlu 3 kali serangan besar untuk menundukkan
jepara karena diperkuat dengan tembok-tembok benteng) dan berakhirlah
pemerintahan Pangeran Jepara. Dalam suatu surat berbahasa belanda tahun
1615 (Colenbrander, Coen, jilid VII, hlm. 45) terdapat kata-kata destructie
(penghancuran) kota jepara. Serangan Mataram dari pedalaman ke
kota-kota pelabuhan pesisir yang makmur mengakibatkan kerusakan berat.
Pada
masa itu, penghancuran suatu kota, biasanya diikuti dengan penghancuran
sarana pertahanan militer seperti yang dialami oleh Tuban, Pati,
Surabaya. Orang-orang yang melawan dibunuh, yang menyerah dijadikan
tenaga kerja budak di pedalaman ... saya rasa, peristiwa besar "Kutho
Bedhah" mungkin sekali berkaitan dengan peristiwa serangan besar 1599
yang mengakibatkan kejatuhan Jepara. Tapi ada satu bangunan megah kota
jepara yang tidak turut dihancurkan, yaitu sebuah masjid (?) yang
berbentuk pagoda yang masih sempat diabadikan dalam lukisan tahun 1660 :
Moskee te Djapara in 1660, Midden-Java (www.kitlv.nl) |
tanggul yang mungkin dulunya benteng yang diperkuat dengan tembok bata |
tanggul "alami" yang sudah diperkuat lagi oleh warga dengan tanggul baru (panjang tanggul kuno ini 1 km dan nyaris lurus) |
bata kuno dan korek jres ... sahabat setia anda ! |
melihat
kontur "alami" ini saya membayangkan, tentunya ini adalah kota yang
dipertahankan dengan baik, tingginya tanggul sudah menggambarkan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi ketika menyerbu kota bagian selatan
ini. Di masa sekarang, untuk masuk ke "kutho bedhah" perlu menggunakan
persneleng 2 plus gas yang kencang untuk mendaki (honda grand 1992).
Setelah selesai mendaki, kutho bedhah ini sangat landai konturnya.
Banyak
warga yang memanfaatkan bata-bata kuno di kutho bedhah untuk bangunan
dan paling banyak digunakan sebagai bahan baku selep bata, mengubah bata
kuno menjadi serbuk bata untuk bahan bangunan. Aktivitas itu sudah
marak sejak tahun 1990-an dan mulai agak mereda sekitar tahun 2000-an
karena sudah sulit mencari bahan baku bata. Dan memang terbukti, hanya
SATU batu bata kuno yang berhasil diabadikan .... ya ndak apa2lah,
lumayan sebagai obat capek dan mandi keringat seharian.
Ok,
sampai disini dulu petualangan ber-solo karir BOL BRUTU di tanah
kalinyamat, kisah tentang masjid robayan akan dibuat di tulisan terpisah
..... Anda Galau ? sumpeg ? .... ingat ! BLUSUKAN adalah KUNCI !
(Terinspirasi monolog DN Aidit dalam film "Pengkhianatan G-30-S PKI
karya Arifin C Noor)
Kamis, 30 Agustus 2012
TUKMAS, PRASASTI NUANSA COKLAT BISKUIT
Wednesday, October 5, 2011 at 9:52pm
(Foto-foto
dari note ini diambil dari kamera mas cuk riomandha, karena ketika
mengunjungi situs ini bersama mas cuk, aku tidak punya kamera !)
Bermula
dari “legenda” yang berulang-ulang ditulis di buku pelajaran SD dan
SMP, nama Tukmas menjadi biang penasaran tersendiri. Setelah ketemu
dengan BOL BRUTU, keinginan lama itu timbul kembali, karena baru sekali
ini ketemu dengan grup yang hobi memburu batu.
Hanya
berbekal informasi singkat di buku sejarah SD yang sekarang menjadi
rumah dinas rayap-rayap pemangsa kertas dan situs website BP3,
dinyatakan bahwa batu legendaris itu ada di dusun dakawu, desa lebak,
kecamatan grabag, magelang. Dari situs kanjeng kyai google yang bermata
dewa, didapatkan koordinat lokasi desa lebak yang ternyata tidak jauh
dari rumahnya Rafael.
Pencarianpun tak berlangsung lama,
setelah melalui proses penyidikan beberapa warga dengan melibatkan
piranti kekerasan (maksudnya kompressor untuk memompa ban belakang yang
gembos) untuk menuju lokasi, prasasti legendaris itu pun ketemu. Lokasi
yang fantastis, perbukitan hijau yang dikelilingi rumpun-rumpun mendong
yang baru saja ditanami, pemandangan gunung para dewa yang dihampari
rerrumpunan hijau yang bergoyang oleh nafas para dewa dari langit
(halah, sok puitis ! …. Pret ah). Lokasi ini cocok sekali untuk berburu
ilham nomer atau mengobati pikiran sedang ruwet…. Hehehe. Jalan setapak
yang cukup mepet untuk satu mobil pun diterjang dengan kekhawatiran
tidak bisa memutar arah mobil untuk kembali. Ternyata di depan lokasi
prasasti tukmas malah cukup luang untuk parkir beberapa mobil.
Mobil merah membelah rerumputan hijau |
Tetapi
ternyata kami belum cukup beruntung untuk ekspedisi pertama, karena
lokasi prasasti menjadi satu lokasi dengan PDAM Kalimas dan kuncinya
dibawa pak alias (pak diyar) yang sekaligus juga karyawan PDAM. Kiranya
tidak bijaksana bila berlagak menjadi atlet loncat galah untuk masuk ke
lokasi yang dikelilingi kawat berduri.
Dua minggu
kemudian, aku dengan mas cuk mengulangi lagi ekspedisi ini. Mas Rafael
pamit tidak bisa ikut karena ada turnamen golf, doi memang hobi jadi
organiser orang maen golf, tidak ada batu … bola golf pun jadi.
Pak
Diyar dengan antusias menerangkan hal-ihwal prasasti tukmas menurut
versi beliau. Batu yang ukurannya cukup besar itu tampak luar biasa,
seksi, coklat muda, agak basah, mulai tumbuh kerutan, bibir agak
pecah-pecah dan jika dijilat mungkin ada rasa biskuit stroberi sekaligus
pedas ala merica (karena ada semut merah berbaris di atas batu).
tampak renyah dan basah ..... |
sudah
bertahun-tahun keinginan untuk bertemu batu legendaris ini, baru
terwujud di usiaku yang kepala tiga yang beranjak ke kepala empat. Batu
coklat biskuit agak basah dengan lambang-lambang hindu tertua di jawa
yang berdasarkan analisa ahli paleografis, usianya kira-kira 1500 tahun.
Di lokasi prasasti ini terdapat mata air yang sekarang di kelola PDAM
dan debitnya tidak pernah surut.
Kalimas Compagnie ... and always blue ! |
Ribuan
tahun yang lalu, mata air ini selalu mengalir memberi penghidupan para
leluhur-leluhur yang tak dikenal hingga era milenium ini. Mata Air ini
memang layak untuk dihormati, karena dalam alam pikiran jawa, mata air
disamakan dengan ketuban sang ibu yang memberi kehidupan kepada manusia.
Air adalah unsur pertama dari hidup dan titik tolak pertama dari
filosofi “sangkan” atau "asal". Para pande keris jaman dulu menggunakan
air dari tuk (mata air) atau tempuran sungai sebagai sarana untuk
“nyepuh” keris-keris buatannya. “Nyepuh” adalah proses pemanasan keris
yang hampir jadi, pada suhu sekitar 800 derajat Celcius (membara warna
merah tua) dan dimasukkan kedalam air dengan tujuan teknis untuk
memperkuat bilahnya. Tujuan filosofisnya adalah penggabungan empat unsur
sangkan-paran untuk penciptaan itu sendiri, yaitu api, air, batu
(mewakili tanah) dan udara. Air dari Tuk adalah simbol dari air ketuban
sang ibu, batu lumpang wadah air untuk nyepuh sebagai simbol dari rahim
sang ibu, udara pemanas ububan sebagai simbol ruh atau nafas, api dari
arang sebagai simbol dari kehendak si jabang bayi atau kehidupan itu
sendiri (energi).
Gambar
yang diukir di batu coklat basah ini juga menarik, di sudut kiri atas
ada gambar yang menyerupai alat pertanian yang mirip bendho (pencacah
rumput) dan sebuah senjata tikam pendek (prototipe keris ?). Yang
dibagian tengah terdapat gambar bagan yang tidak kupahami maksudnya, dan
disusul gambar kapak dan senjata mirip gada.
Promosi korporat yang sebaiknya jangan ditiru |
di
bagian paling kiri terdapat gambar roda (cakra ?), dan berikutnya
sebuah benda yang mirip kerang yang difungsikan sebagai alat musik.
Dibawahnya ada tambahan prasasti kontemporer dari PT Madiyo – Magelang.
Semacam tidak mampu kubaca |
Hasil kajian para ahli berupa transkripsi yang disusun dari empat baris sajak, sebagai berikut:
(itant) uśucyamburuhānujātā
Kwacicchilāwālukanirgateyam
Kwacitprakĩrnnā śubhaśĩtatoyā
Samprasratā m(edhya) kariwa gańgā
Terjemahan sajak yang terdiri dari empat baris tersebut adalah, Bermula
dari teratai yang gemerlapan dari sini memancarlah sumber air yang
mensucikan, air memancar keluar dari sela-sela batu dan pasir, di tempat
lain memancar pula air sejuk dan keramat seperti (sungai) Gangga.
Di bagian paling kanan terdapat gambar 4 buah padma yang mungkin melambangkan empat mata air yang sampai sekarang masih tetap mengalir deras. |
di bagian belakang prasasti terdapat ukiran tambahan yang nggak ancient
dari mas verijatno – solo. Menurut informasi dari pak alias, sang
”seniman” pernah diperkarakan dengan denda berat dan bonus menghuni
hotel prodeo.
adegan ini jangan ditiru |
Pak Diyar .... Den Alias |
Nah,
ini yang penting …. Mempunyai kesempatan untuk meraba prasasti
legendaris ini, impian yang lama akhirnya terwujud juga. Serasa
terhubung dengan masa lalu …. Sebuah kapsul waktu.
Sampai jumpa di petualangan berikut …..
===== Nyandi pangkal Nyandu, Tidak Nyandu, Nyandi kembali =====
(meminjam dan menggubah istilah dari Cuk Riomandha)
Ucapan
terima kasih kepada mas Cuk Riomandha, karena kameramu dan foto2mu,
ekspedisi ini dapat diabadikan, insyaallah bulan depan aku menghadap
koperasi untuk kredit beli kamera, mohon doa restunya mas cuk riomandha
.....
The Great Warrior From Japara (Jung Mara)
Monday, August 15, 2011 at 8:57pm
Kota
Jepara, kota yang terkenal karena kerajinan ukirnya yang mempunyai ciri
khas sangat jauh berbeda dengan ragam ukiran pedalaman mataraman.
Ukirannya menceritakan cita rasa masyarakat yang lebih metropolis dan
dinamis pada jaman itu. Sebenarnya blusukan Bol Brutu kali ini adalah
mengunjungi seorang makam seorang Ksatria hebat dari Jepara, RATU
KALINYAMAT, dimana dalam buku-buku sejarah pelajaran sekolah, tokoh
hebat ini kurang banyak dikupas. Sebaliknya, Sultan Agung yang hanya dua
kali menyerbu batavia melalui jalan darat diceritakan dengan
bertubi-tubi. Bila dibandingkan, Ratu Kalinyamat menyerbu portugis di
selat malaka sebanyak TIGA kali !! Dan tentu memerlukan biaya yang lebih
besar, mengingat medan pertempurannya sangat tidak dikuasai orang
pedalaman : LAUT !!. Dan medan pertempuran kedua adalah daratan
singapura ....
Makam Ratu Kalinyamat ada di kota Mantingan dengan
arsitektural masjid yang dihiasi ukiran yang luar biasa dan menunjukkan
kemuliaan beliau yang perkasa. Diam-diam aku sangat mengidolakan tokoh
ini, dalam kenyataannya, pejuang wanita jauh lebih tangguh daripada
pejuang pria.
Perjalanannya cukup mudah, dari arah selatan menuju
jepara, ketika menemui bundaran Ngabul, ambil arah jalan cabang ke kiri
(Jalan Sunan Hadirin). Teruuuuusss saja sampai nanti menemui komplek
makam besar di tanah tinggi tepat di kanan jalan anda.
Gerbang masuk makam Sunan Hadirin dan Ratu Kalinyamat |
Arsitektural
Masjid Mantingan dan Makam Mantingan sangat khas pesisiran, yaitu
menggunakan batu bata dan kualitas batubata di wilayah pesisiran memang
lebih baik daripada dari daerah pedalaman. Gerbang masuk juga berbentuk
gerbang padureksan atau bentuk meru
Gerbang masuk berbentuk Meru |
Komplek
makam ini bagian dalamnya sudah diperbaharui dengan citarasa era
kolonial dengan bantuk tiang yang khas. Tidak ada keterangan, kapan
makam ini dipugar pada masa kolonial itu dan siapa pemugarnya.
Serambi makam yang bercita-rasa arsitektur era kolonial |
Hal
yang sangat menarik ketika memasuki makam ini adalah : HIASAN
DINDINGNYA ! yang terbuat dari bahan yang kualitasnya jauh lebih baik
dibandingkan dengan yang ada di masjid al-manaar kudus dan kualitas
tatahan yang prima. nah, ini beberapa contoh hiasan yang ditempel di
makam sunan hadirin dan istrinya, Ratu Kalinyamat :
Hiasan dinding dengan ukiran sulur model majapahit |
Nylempit !! |
Pintu masuk cungkup makam Ratu Kalinyamat & Suaminya |
Setelah
selesai berdoa untuk beliau yang kukagumi, perjalanan dilanjutkan
mengunjungi masjid mantingan yang terletak satu komplek dengan pemakaman
ini. Oya, sebelum meninggalkan pemakaman, ada satu relik dari jaman
hindu/budha yang disimpan di situs ini, yaitu sebuah Jaladwara yang
disemen tepat di depan gerbang pintu masuk makam.
Sebuah Jaladwara Kuno |
Masjid
Mantingan ini tidak kalah dahsyat, hal yang sangat menyita mata adalah
hiasannya yang luar biasa itu. Hiasan ini ditempelkan di tembok masjid
merata di depan masjid. Nah, inilah foto-fotonya :
Serambi Masjid |
Across The Time .... |
Ok, itu sekedar pengantar dari pandangan jarak jauh, sekarang langkahkan kaki mendekat dan ....
Ragam ukiran taman sari, sering diterapkan pula pada hiasan kinatah mas keris ataupun pendok keris |
Gambar seekor gajah yang tersamar ada di tengah hiasan ini |
Pola Ragam hias geometris |
Selesai
menikmati karya maestro tempo doeloe yang dahsyat itu, kakiku melangkah
masuk ke dalam masjid mantingan. Suasana sepi sekali, tidak ada
seorangpun yang ada di dalam masjid .... Suasana di bagian dalam memang
berbeda bila dibandingkan dengan masjid kudus, lebih sempit tetapi
sisa-sisa kemewahannya masih terasa
Bagian dalam masjid yang terasa dingin walaupun diluar sangat panas |
Ada
satu hal yang menarik dari ukiran2 tempel ini, yaitu sebuah hiasan
diatas mihrab masjid yang bertuliskan aksara jawa. Sayangnya bentuknya
kurang jelas, so, jadi kufoto saja dan nanti dibaca dengan lebih tenang
bersama-sama
Prasasti teracotta diatas mihrab masjid |
Pertama
kali Jepara turut menyerbu ke malaka pada tahun 1512-1513, tetapi
serangan itu gagal dan menyebabkan Armada perang demak di Jepara nyaris
hancur. Serangan kedua dilakukan tahun 1550 yang kali ini menyambut
ajakan raja Johor menyerbu Malaka. Serangan kedua ini Jepara lebih
bersikap mandiri, karena Demak pada waktu itu dikatakan sudah berkurang
kekuatannya. Jumlah armada Jepara yang berangkat mencapai 40 buah kapal
perang dan membawa 4000-5000 prajurit bersenjata. Dalam serangan besar
itu, salah seorang pembesar Jawa gugur, dan ”espada e hum cris Guarnacido de ouro”
(pedang dan kerisnya berhiaskan emas) jatuh ketangan kaum Kristen.
Ketika pasukan Jawa melihat pemimpinnya gugur, mereka lari ke pantai dan
berusaha naik kapal cepat-cepat, sehingga pertempuran dilanjutkan di
darat dan di air. Dua ribu orang Jawa gugur dan seluruh perbekalan
mereka hilang: ”artilleria, muniçoes, mantimentos e mais cosas” (meriam, senapan, mesiu, bahan makanan dan lain sebagainya).
Pada tahun 1573 ia sekali lagi diajak melakukan ekspedisi dan menyerang Malaka. Kali ini oleh ”Achim tyranno, insolete e poderoso”
(tiran dari Aceh yang kurang ajar dan kuat). Sekalipun ratu Jepara
sangat bersemangat untuk berjuang melawan orang Portugis, armadanya
tidak muncul pada waktunya. Keterlambatan ini tidak sengaja sangat
menguntungkan orang Portugis. Andai kata orang Melayu dan orang Jawa
menyerang bersama-sama, Malaka tidak dapat dielakkan dari kehancuran
(Couto, Da Asia, IX, xvii).
Armada dari Jepara baru muncul di Malaka pada bulan Oktober 1574 (Couto, Da Asia,
IX, xix). Kali ini armada itu berjumlah 300 kapal layar, 80 kapal di
antaranya berukuran besar, masing-masing berbobot 400 ton. Awak kapal
terdiri atas 15.000 orang Jawa pilihan, dan juga terdapat banyak sekali
perbekalan, meriam dan mesiu.
Pemimpinnya, ”Regedor principal de seu Reyno” (pimpinan pemerintahan tertinggi kerajaan) disebutnya ”Quilidamâo”,
mungkin salah ejaan untuk Kiai Demang (Laksamana ?). Armada itu memulai
serangan dengan salvo tembakan yang seolah-olah hendak membelah bumi.
Keesokan harinya jenderal Jawa mendaratkan pasukannya dan menyuruh
menggali parit-parit pertahanan. Suatu serangan yang dilakukan kaum
Portugis sangat mengecilkan hati pasukan Jawa. Ketika pihak Jawa
melakukan serangan dengan armadanya, 30 kapal besarnya malahan terbakar.
Mereka selanjutnya membatasi diri dengan blokade laut dan mendirikan
rintangan-rintangan tinggi di daerah perairan. Pihak Portugis baru
berhasil menembus rintangan ini setelah melakukan serangan berkali-kali.
Setelah itu pasukan Jawa bersedia mengadakan perundingan, tetapi yang
melakukannya bukanlah jenderal mereka melainkan seorang rohaniawan yang
disebut ”dato” (datu ?). tuntutan orang Portugis dianggap terlalu berat
dan ditolak. Tetapi perundingan berlangsung terus. Setelah orang
Portugis dapat merampas enam kapal Jawa yang penuh dengan bahan makanan
kiriman dari Jepara, pasukan Jawa, yang semula merupakan pihak
pengepung, secara berangsur-angsur menjadi pihak yang dikepung. Mereka
terpaksa segera melakukan gerakan mundur, sehingga memberi kesempatan
kepada orang Portugis untuk menyerang, dan menimbulkan kerugian lebih
berat di pihak pasukan Jawa. Dalam pada itu, kekhawatiran akan
kembalinya orang Aceh yang tidak begitu disukai oleh orang Jawa itu
merupakan faktor penting. Di sekitar Malaka saja dapat ditemukan 7.000
makan orang Jawa; tetapi kekalahan seluruhnya diperkirakan sebesar 2/3
dari kekuatan yang berangkat dari Jepara. Pengepungan atas pasukan
Portugis berlangsung tiga bulan (Da Asia, Couto).
Komplek
makam ini diselesaikan pembangunannya setelah sang pembunuh suami ratu
kalinyamat, Arya Penangsang berhasil dimusnahkan oleh pasukan dari
pajang. Sebuah bukti tanda cinta beliau kepada sang suami, sayangnya,
beliau sampai akhir hayatnya tidak dikaruniai seorang putera pun.
Sehingga pengganti tahtanya adalah Pangeran Jepara, putra Hasanuddin
dari Banten. Beliau Meninggal dunia sekitar tahun 1574-1580.
Marai Ngileeeerrrr |
Kerajaan
Jepara berakhir setelah mengalami serangan berat berkali-kali dari
Mataram, dan akhirnya jatuh pada tahun 1599 (Tiga gelombang serangan
besar). Dengan demikian, berakhirlah kisah kerajaan Jepara yang hebat
itu.
Ok, Sampai jumpa lagi di perjalanan berikut ..... ingat : BLUSUKAN SEHAT UNTUK KEJIWAAN ANDA !
Langganan:
Postingan (Atom)